22 April 2016
23 November 2015
On 16.58 by Anwar in zakat maal
A. Dalil Quran Tentang Mustahiq Zakat
Zakat adalah bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meski pada hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan dari harta di kaya kepada si miskin, namun kriteria si miskin yang menerima harta telah ditentukan Allah SWT secara langsung di dalam Al-Quran Al-Kariem. Dan ternyata, orang-orang yang berhak atas harta zakat itu bukan semata-mata orang miskin saja, melainkan ada lagi orang-orang dengan kriteria tertentu yang juga berhak atas harta zakat itu.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan,
sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah : 60)
Dari ayat ini kita bisa
merinci bahwa mustahiq zakat itu ada 8 kelompok (asnaf). Mereka adalah :
1. Orang-orang fakir
2. Orang-orang miskin
3. Pengurus-pengurus zakat
4. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)
5. Untuk budak
6. Orang-orang yang berhutang
7. Untuk jalan Allah
8. Mereka yang sedang dalam perjalanan
B. Rincian Para Penerima Zakat
1. Orang-orang fakir
Faqir seringkali disamakan dengan miskin. Karena kedua memiliki kemiripan satu sama lain. Namun masing-masing tetap memiliki keunikan yang membedakannya dengan lainnya. Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan faqir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Atau mencukupi hajat paling asasinya. Termasuk diantaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya. Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari udara panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas dan hujan atau cuaca yang tidak mendukung.
2. Orang-orang miskin
Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan.
Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara
faqir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang faqir itu lebih buruk dari orang
miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meski sangat
kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang faqir memang sudah tidak punya apa-apa
dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya.
Pembagian kedua istilah ini bukan sekedar mengada-ada, namun didasari oleh
firman Allah SWT berikut ini :
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. Al-Kahfi : 79)
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja
di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya hal yang bisa
dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa
yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya. Namun Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah
menyatakan sebaliknya, bahwa orang miskin itu lebih buruk keadaannya dari orang
faqir. HAl ini didasarkan kepada makna secara bahasa dan juga nukilan dari ayat
Al-Quran juga.
atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS. Al-Balad : 16)
3. Pengurus-pengurus zakat (amil zakat)
Mereka seringkali disebut dengan istilah su'aat lli jibayatizzakah yang artinya adalah orang yang berkeliling untuk mengumpulkan zakat. Disyaratkan untuk mereka adalah yang memiliki ilmu tentang hukum zakat. Juga yang bersifat amanah dan adil. Termasuk di dalamnya adalah para pencatat, pembagi zakat, menyimpan harta dan keahlian lainnya yang terkai erat dengan tugas mengumpulkan dan membagi zakat. Mereka itu bekerja dengan baik agar proses pengambilan harta zakat berjalan dengan benar, tepat sasaran, serta tidak terlewat. Juga mereka bekerja keras untuk bisa memastikan bahwa orang-orang yang berhak mendapat zakat itu benar-benar menerimanya. Atas semua kerja keras dan jasa ini, mereka pun berhak mendapatkan bagian dari dana zakat, meski pun mereka sudah kaya.
4. Para mu'allaf (orang yang dibujuk hatinya masuk Islam)
Yang termasuk sebagai muallaf sebenarnya tidak terbatas kepada orang yang baru masuk Islam saja, tetapi termasuk juga orang-orang yang masih dalam agama non Islam atau masih kafir, namun sedang dibujuk hatinya untuk masuk Islam.
Muallaf yang kafir ini pun masih terbagi lagi menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang diharapkan kebaikannya. Kedua, mereka yang dihindari kejahatannya. Mereka yang diharapkan kebaikannya adalah mereka yang diharapkan masuk Islam. Sehingga mereka diberikan sebagian dari harta zakat, agar ada semacam dorongan bisa masuk Islam. Sedangkan mereka yang dihindari kejahatannya adalah orang-orang kafir yang selama ini memusuhi umat Islam. Kepada mereka, dibolehkan pemberian sebagian harta zakat demi untuk melunakkan hati dan mengurangi atau menghentikan permusuhan kepada kaum muslimin. Di dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW telah memberikan sebagian harta zakat untuk Abu Sufyan bin Al-Harb, Sofwan bin Umayyah, 'Uyaynah bin Hishn, Al-Aqra' bin Habis dan Abbas bin Mirdas, masing-masing 100 ekor unta. Bahkan kepada 'Alqamah bin Ulatsah diberkan harta ghanimah perang Hunain. Semua itu dalam rangka membujuk hati mereka agar minimal mengurangi permusuhan kepada Islam. Dan kalau bisa sampai masuk Islam, tentu akan lebih baik lagi. Namun sebagian ulama kurang sependapat dengan hal ini. Al-Hanafiyah dan As-Syafi'iyah mengatakan bahwa apa yang diberikan Rasulullah SAW itu hanya terjadi di masa awal dakwah Islam. Ketika umat Islam masih sedikit dan mereka sangat tertekan. Sedangkan ketika posisi umat Islam sudah kuat, tidak pernah lagi beliau memberikannya kepada mereka.
Dan hal ini juga dilakukan di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra, dimana beliau tidak pernah memberikan harta zakat kepada orang kafir harta zakat. Umar ra berkata,"Kita tidak akan memberikan sesuatu pun untuk menjadi muslim. Siapa yang mau silahkan masuk Islam dan siapa yang tidak mau silhakan kafir saja".
5. Untuk budak
Yang dimaksud dengan budak dalam hal ini menurut Al-Hanafiyah dan Asy-syafi'iyah adalah almukatibun, yaitu budak-budak yang sedang mengurus pembebasan dirinya dengan cara membayar / menembus harga atas dirinya itu kepada tuannya secara cicilan.
Sebagaimana firman Allah SWT :
...Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka , jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.....(QS. An-Nur : 33)
Sebab bila tidak berstatus sebagai mukatib, tidak mungkin bisa dijalankan. Sebab dalam hukum yang berlaku, seorang budak itu biar bagaimana pun tetap tidak akan pernah punya hak kepemilikan atas harta yang diberikan kepadanya. Sebanyak apapun harta yang diberikan kepadanya, tidak akan ada gunanya. Sebab secara hukum yang beraku, semua harta itu otomatis menjadi milik tuannya.
Sedangkan pendapat Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tentang masalah budak yang mendapatkan hak atas dana zakat, maksudnya adalah dana itu dikeluarkan langsung untuk membeli budak kepada tuannya dan membebaskannya. Jadi budak itu sendiri tidak menerima uang dari amil zakat, sebab amil zakat itu yang langsung membebaskan dirinya menjadi manusia yang merdeka. Dan disyaratkan bahwa budak yang dibebaskan itu adalah budak yang agamanya Islam, bukan yang beragama selain Isla. Tapi berhubung di masa sekarang ini sudah tidak dikenal lagi perbudakan, maka jatah untuk mereka otomatis telah hangus dengan sendirinya.
6. Orang-orang yang berhutang
Dalam hal ini As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah mengatakan ada 2 kemungkinan orang yang berhutang.
Pertama, seseorang berhutang untuk keperluan dirinya sendiri.
Dalam hal ini, bila pada dasarnya dia adalah orang kaya dan berkecukupan,
tidaklah berhak atas dana zakat. Kedua, seseorang berhutang untuk kepentingan
pihak lain, seperti untuk mengishlah pihak-pihak yang bersengketa, maka dia
berhak atas dana zakat untuk menutupi hutangnya itu, tanpa melihat apakah dia
miskin atau kaya. Meski dia kaya, tapi tetap berhak atas dana zakat.
Sedangkan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
gharim adalah orang yang sudah dikejar oleh penagih hutang, namun tidak punya
harta untuk membayarnya.
7. Untuk jalan Allah
Mereka adalah para peserta pertempuran pisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Meskipun mereka itu pada hakikatnya orang-orang yang cukup berada, menurut jumhur ulama. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum. Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, dimana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat. Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat. Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat. Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah ?
Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji ke baitullah itu masih termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan dalil berikut ini : Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor untuk fi sabilillah, namun istrinya ingin pergi haji.
Nabi SAW bersabda,"Naikilah, karena hajji itu termasuk fi sabilillah". (HR. Abu Daud)
Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini. Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama kali. Sedangkan untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam kategori ini.
8. Mereka yang sedang dalam perjalanan
Yaitu musafir yang berada jauh dari negeri asalnya, meskipun dia
adalah seorang yang berkecukupan di negerinya. Namun keadaanya yang sedang
dalam perjalanan, membuatnya berhak mendapatkan harta zakat. Asalkan
perjalanannya itu bukan perjalanan maksiat.
On 16.27 by Anwar in zakat fitrah, zakat maal
‘Amil zakat yang profesional di dalamnya bukan sekedar kumpulan petugas pelaksana, namun ada para ahli syariat yang akan menentukan kriteria penerima zakat sekalian dengan sekala priorotasnya. ‘Amil zakat itu dibentuk salah satunya adalah untuk menghindari dana-dana yang kurang mengena. Mereka bertugas melakukan pertimbangan dan memutuskan untuk memberikan porsi lebih besar pada orang tertentu atau kelompok tertentu dengan pertimbangan yang matang.
Khusus amil zakat mal, seharusnya punya kriteria yang cukup. Paling tidak mereka harus orang yang ahli di bidangnya masing-masing.
Kewajiban 'Amil Untuk Mengambil Zakat
Dari segi penyaluran, perlu diadakan riset dan penelitian tentang jumlah fakir miskin di suatu wilayah tertentu lengkap dengan potensi pengembangan sumber daya manusia mereka. Sehingga bisa dibuatkan skala prioritas yang bisa diberi zakat terlebih dahulu. Idealnya zakat yang diberikan itu harus bisa menyelesaikan problem kemiskinan dengan cara memberi peluang, pelatihan, pendidikan, motivasi dan modal real untuk usaha. Dengan bekal-bekal itu para mustahik zakat itu bisa dirubah nasibnya dan didongkrak ekonominya. Dengan harapan pada tahun-tahun mendatang mereka sudah bukan lagi mustahiq tetapi sudah jadi muzakki yang menyisihkan sebagian hartanya untuk zakat. Semua kerja itu tidak bisa dilakukan sambil lalu, tetapi membutuhkan tenaga profesional dan mahir serta solid. Dengan demikian zakat itu bisa berjalan secara sistematis.
Di zaman dahulu ‘amil zakat benar-benar efisien dalam bekerja sehingga mampu mengangkat kemiskinan seperti di zaman Umar bin Abdul Aziz dan lainnya. Sehingga secara syar`i kerja para ‘amil zakat ini didukung dengan diberikannya mereka sebagian hak harta zakat itu. Ini untuk menunjang kinerja panitia agar lebih produktif dan profesional. Namun dibatasi hanya 1/8 dari harta zakat yang terkumpul, terutama zakat mal. Karena zakat fitrah itu sifatnya sementara dan umumnya sedikit. Tidak terlalu dibutuhkan usha yang terlalu keras untuk mengerjakannya. Karena umumnya umat Islam secara berbondong-bondong akan mendatangi panita penerimaan zakat fitrah. Sedangkan pada zakat mal, memang mutlak dibutuhkan keberadaan 'amil yang profesional.
Kemampuan Khusus Buat 'Amil Zakat
Khusus amil zakat mal, seharusnya punya kriteria yang cukup. Paling tidak mereka harus orang yang ahli di bidangnya masing-masing.
1. Adanya ahli syariah agar tahu apa dan bagaimana hukum zakat itu.
2. Ada ahli managemen agar piawai memanage lembaganya dengan profesional, efektif dan efisien.
3. Ada ahli ekonomi kerakyatan dan pendataan lapangan agar tahu persis siapa saja di antara masyarakat yang masuk dalam kriteria mustahik zakat.
4. Ada ahli ekonomi perusahaan dan dunia usaha agar tahu siapa saja yang wajib zakat.
5. Dan juga ahli-hali lainnya untuk menunjang berhasilnya sistem zakat ini.
Semua potensi itu dihimpun dengan baik dan harus bekerja secara profesional selain harus aktif mendatangi para wajib zakat, bukan hanya menunggu di kantor. Untuk semua tugas berat itu, wajarlah bila mereka dikatakan sebagai amil profesional dan wajar pula mereka mendapat maksimal 1/8 bagian zakat sebagai amil. Tetapi kalau sekedar ‘amil-amilan’ dan tidak jelas tingkat profesionalismenya, jangan-jangan hanya akan memakan harta zakat. Atau sedekedar mengkoordinir zakat fitrah yang sebenarnya tidak terlalu memeras keringat.
Sesunggunya kerja amil zakat itu cukup berat karena bukan sekedar menerima dan menyalurkan zakat saja. Tetapi lebih dari itu juga punya beban untuk mengentaskan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan.
Kewajiban 'Amil Untuk Mengambil Zakat
Dari segi pemungutan zakat, tidak cukup hanya sekedar menunggu di sekretariat, tetapi harus menjemput bola dengan mengadakan pendataan yang akurat kepada wajib zakat. Semua lapisan umat Islam harus didata kekayaannya lalu dibuatkan kalkulasi penghitungan zakatnya hinga ditagih dari mereka. Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya. Kemudian tugas itu diamanahkan kepada para petugas khusus, yaitu para amil zakat
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)
Dari segi penyaluran, perlu diadakan riset dan penelitian tentang jumlah fakir miskin di suatu wilayah tertentu lengkap dengan potensi pengembangan sumber daya manusia mereka. Sehingga bisa dibuatkan skala prioritas yang bisa diberi zakat terlebih dahulu. Idealnya zakat yang diberikan itu harus bisa menyelesaikan problem kemiskinan dengan cara memberi peluang, pelatihan, pendidikan, motivasi dan modal real untuk usaha. Dengan bekal-bekal itu para mustahik zakat itu bisa dirubah nasibnya dan didongkrak ekonominya. Dengan harapan pada tahun-tahun mendatang mereka sudah bukan lagi mustahiq tetapi sudah jadi muzakki yang menyisihkan sebagian hartanya untuk zakat. Semua kerja itu tidak bisa dilakukan sambil lalu, tetapi membutuhkan tenaga profesional dan mahir serta solid. Dengan demikian zakat itu bisa berjalan secara sistematis.
Dalam konteks seperti itulah para amilin layak mendapatkan bagian harta zakat karena mereka memang mencurahkan perhatian dan kerjanya sepenuhnya untuk berjalannya sistem zakat. Sedangkan panitia penerimaan dan penyaluran zakat yang sering dibuat baik di suatu masjid atau instansi namun dikerjakan dengan pasif dan menunggu saja, kurang layak untuk mendapat bagian harta zakat. Apalagi mereka telah digaji oleh instansinya sendiri. Tapi bila memang para amil itu sendiri termasuk orang miskin yang hidupnya kekurangan, maka boleh saja menerima harta zakat dari pos fakir miskin. Insya Allah pada gilirannya, dari lembaga seperti inilah nanti kita bisa mengharapkan SDM yang berpengalaman untuk mengelola zakat bila negara Islam ini resmi berdiri dalam waktu dekat. Jelas kita akan memerlukan SDM berpengalaman di lapangan untuk menggulirkan program zakat secara nasional. Kalau masih mengharapkan para pegawai bermental korup jelas merupakan musibah besar.
Bahwa lembaga-lebaga zakat ini tidak punya kekuatan untuk memerangi yang tidak bayar zakat, itu memang harus diakui. Tapi kalau kita melihat jumlah orang yang secara kesadaran mau bayar zakat dengan jumlah secara kualitatif dan kuantitastif lembaga zakat ini, kelihatannya masih berimbang. Artinya sekedar melayani zakat dari kalangan ‘sadar zakat’ pun sebenarnya lembaga-lembaga ini sudah cukup disibukkan. Apalagi bila nanti lembaga ini diresmikan sebagai salah satu badan resmi pemerintah baik berbentuk departemen atau kementerian.
Pada saat itu nanti, tentu saja idealnya lembaga-lembaga ini diisi dengan orang-orang profesional di bidangnya dan punya kapasistas yang memadai serta pengalaman lapangan yang cukup.
21 November 2015
On 19.28 by Anwar in zakat maal
Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc.
A. Zakat Profesi
1. Perbedaan Pendapat
Zakat profesi sebenarnya bukanlah zakat yang disepakati keberadaannya oleh semua ulama. Hal ini lantaran di masa lalu, para ulama tidak memandang profesi dan gaji sese
orang sebagai bagian dari bentuk kekayaan. Di masa lalu, orang yang kaya itu identik dengan peternak, petani, pedagang, pemilik emas dan lainnya. Sedangkan seseorang yang bekerja pada orang lain dan menerima upah, umumnya hanyalah pembantu dengan gaji seadanya. Sehingga di masa itu tidak terbayangkan bila ada seorang pekerja yang menerima upah bisa menjadi seorang kaya. Namun zaman memang telah berubah. Orang kaya tidak lagi selalu identik dengan petani, peternak dan pedagang belaka. Di masa sekarang ini, profesi jenis tertentu akan memberikan nilai nominal pemasukan yang puluhan bahkan ratusan kali dari hasil yang diterima seorang petani kecil. Profesi seperti lawyer (pengacara) kondang di masa kini bisa dengan sangat cepatnya memberikan pemasukan ratusan bahkan milyaran rupiah, cukup dengan sekali kontrak. Demikian juga dengan artis atau pemain film kelas atas, nilai kontraknya bisa membeli tanah satu desa. Seorang pemain sepak bola di Eropa akan menerima bayaran sangat mahal dari klub yang mengontraknya, untuk satu masa waktu tertentu. Bahkan seorang dokter spesialis dalam satu hari bisa menangani berpuluh pasien dengan nilai total pemasukan yang lumayan besar.
Sulit untuk mengatakan bahwa orang-orang dengan pemasukan uang sebesar itu bebas tidak bayar zakat, sementara petani dan peternak di desa-desa miskin yang tertinggal justru wajib bayar zakat. Maka wajah keadilan syariat Islam tidak nampak.
2. Kalangan Penentang Zakat Profesi
Para penentang keberadaan zakat profesi bukan tidak punya argumen. Sebab mereka sesungguhnya juga para ulama bahkan dari segi jumlah, mereka amat banyak, karena merupakan representasi dari pendapat umumnya para ulama sepanjang zaman. Mereka selama nyaris 14 abad tidak pernah berupaya melakukan 'penciptaan' jenis zakat baru, bukan karena tidak melihat perkembangan zaman, namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat bukan semata-mata mengacu kepada rasa keadilan. Tetapi yang lebih penting dari itu, zakat adalah sebuah ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari Rasulullah SAW. Tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad belaka.
Selama tidak ada nash dari Rasulullah SAW, maka kita tidak punya wewenang untuk membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan ingin menghalangi orang yang ingin bersedekah atau infaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu punya banyak aturan dan konsekuensi. Sedangkan bila para artis, atlet, dokter, lawyer atau pegawai itu ingin menyisihkan gajinya sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat dianjurkan. Namun janganlah ketentuan itu dijadikan sebagai aturan baku dalam bab zakat. Sebab bila tidak, maka semua orang yang bergaji akan berdosa karena meninggalkan kewajiban agama dan salah satu dari rukun Islam. Sedangkan bila hal itu hanya dimasukkan ke dalam bab infaq sunnah, tentu akan lebih ringan dan tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang merepotkan.
3. Aturan Dalam Zakat Profesi
Yang dikeluarkan zakatnya adalah semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa berbentuk gaji, upah, honor, insentif, fee dan sebagainya. Baik sifatnya tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali.
Gaji Bersih Atau Kotor?
Di kalangan ulama yang mendukung zakat profesi, berkembang dua pendapat yang berbeda.
Pertama, kalangan yang memandang bahwa semua bentuk pemasukan harus langsung dikeluarkan 2,5 %, tanpa memandang seberapa besar kebutuhan dasar seseorang. Angka 2,5 % dari total pemasukan kotor ini menjadi tidak berarti bila dilihat secara nilai nominal. Dan dalam prakteknya, metode seperti ini tidak beda dengan pajak penghasilan, dimana di beberapa negara maju, prosentasenya bisa sangat tinggi melebihi angka 2,5 %. Maka penerapan metode pemotongan langsung dari pemasukan kotor menurut kalangan ini lebih tepat.
Kedua, kalangan yang masih memperhatikan masalah kebutuhan pokok seseorang. Sehingga zakat yang wajib dikeluarkan tidak dihitung berdasarkan pemaskan kotor, melainkan setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok seseorang. Setelah itu, barulah dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % dari pemasukan bersihnya.
Metode ini mengacu kepada ketetapan tentang harta yang wajib dizakatkan, yaitu bila telah melebihi Al-Hajah Al-Asliyah, atau kebutuhan paling mendasar bagi seseorang. Dalam materi pertemuan kedua, kita sudah membahas masalah ini secara lebih lengkap, silahkan merujuk kesana.
Jalan Tengah Qaradawi
Ulama besar abad ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam kitabnya, Fiqhuz-Zakah, menuliskan perbedaan pendapat ini dengan mengemukakan dalil dari kedua belah pihak. Ternyata kedua belah pihak sama-sama punya dalil dan argumen yang sulit dipatahkan, sehingga beliau memberikan jalan keluar dari sisi kasus per kasus. Menurut beliau, bila pendapatan seseorang sangat besar dan kebutuhan dasarnya sudah sangat tercukupi, wajar bila dia mengeluarkan zakat 2,5 % langsung dari pemasukan kotornya. Sebaliknya, bila pemasukan seseorang tidak terlalu besar, sementara kewajiban untuk memenuhi nafkah keluarganya lumayan besar, maka tidak mengapa bila dia menunaikan dulu segala kewajiban nafkahnya sesuai dengan standar kebutuhan dasar, setelah itu sisa pemasukannya dizakatkan sebesar 2,5 % kepada amil zakat.
Kedua pendapat ini memiliki kelebihan dan kekuarangan. Buat mereka yang pemasukannya kecil dan sumber penghidupannya hanya tergantung dari situ, sedangkan tanggungannya lumayan besar, maka pendapat pertama lebih sesuai untuknya. Pendapat kedua lebih sesuai bagi mereka yang memiliki banyak sumber penghasilan dan rata-rata tingkat pendapatannya besar sedangkan tanggungan pokoknya tidak terlalu besar.
Nishab Zakat Profesi
Nishab zakat profesi mengacu pada zakat pertanian yaitu seharga dengan 520 kg beras. KAlau harga besar Rp. 2.500 per kilogram, maka 520 x Rp. 2.500 = Rp. 1.300.000,-. Nisab ini akan sangat bergantung kepada harga besar yang dimakan oleh seseorang. Nishab ini adalah jumlah pemasukan dalam satu tahun. Artinya bila penghasilan seseorang dikumpulkan dalam satu tahun bersih setelah dipotong dengan kebutuhan pokok dan jumlahnya mencapai Rp. 1.300.000,- maka dia sudah wajib mengeluarkan zakat profesinya. Ini bila mengacu pada pendapat pertama. Dan bila mengacu kepada pendapat kedua, maka penghasilannya itu dihitung secara kotor tanpa dikurangi dengan kebutuhan pokoknya. Bila jumlahnya dalam setahun mencapai Rp. 1.300.000,-, maka wajiblah mengeluarkan zakat
Waktu Pembayaran Zakat
Zakat profesi dibayarkan saat menerima pemasukan karena diqiyaskan kepada zakat pertanian yaitu pada saat panen atau saat menerima hasil.
B. Zakat Investasi
Zakat investasi biasanya berbentuk barang seperti tanah, rumah, kontrakan, mobil dan sebagainya.
1. Kriteria Yang Wajib Dizakatkan
Investasi adalah harta yang disimpan dan memberikan hasil atau pemasukan kepada pemiliknya, diluar nilai investasi itu sendiri.
Contoh harta yang termasuk investasi ini antara lain adalah :
1. Rumah yang disewakan untuk kontrakan atau rumah kost. Hotel dan properti yang disewakan seperti untuk kantor, toko, showroom, pameran atau ruang pertemuan.
2. Kendaraan seperti angkot, taxi, bajaj, bus, perahu, kapal laut, truk bahkan pesawat terbang.
3. Pabrik dan industri yang memproduksi barang-barang.
4. Lembar-lembar saham yang nilainya akan bertambah.
5. Sepetak ladang yang disewakan.
6. Hewan-hewan yang diambil manfaatnya seperti kuda sebagai penarik, atau domba yang diambil bulunya
2. Yang Wajib Dizakati Adalah Hasil Bukan Modal
Yang wajib dikeluarkan zakatnya bukan dari nilai investasi itu, tetapi pemasukan hasil dari investasi itu.
Bila berbentuk rumah kontrakan, maka uang sewa kontrakan. Bila kendaraan yang disewakan, maka uang sewanya. Bila pabrik dan industri, maka nilai produknya. Bila saham, maka nilai pertambahannya atau keuntungannya. Karena itu pengeluaran zakatnya bukan dihitung berdasarkan perputaran tahun, tetapi berdasarkan pemasukan hasil. Kapan menerima uang masuk, maka dikeluarkan zakatnya.
3. Dikurangi dengan Kebutuhan Pokok
Harta investasi yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil pemasukan dari investasi itu setelah dikurangi dengan kebutuhan pokok. Ini adalah salah satu pendapat yang cocok diterapkan kepada mereka yang pemasukannya relatif kecil, sedangkan kehidupannya sangat tergantung pada investasi ini. Jadi pengeluaran zakatnya bukan pemasukan kotor, tetapi setelah dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan pokoknya.
Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang harus dikeluarkan zakatnya adalah pemasukan kotornya. Pendapat ini agaknya lebih cocok bagi pemilik investasi yang besar dan mendatangkan keuntungan berlimpah sehingga pemiliknya hidup berkecukupan.
4. Nishab Zakat Investasi
Nishab zakat investasi mengikuti nishab zakat pertanian, yaitu seharga 520 kg beras tiap panen. Bila harga 1 kg besar Rp. 2.500, maka 520 kg x Rp. 2.500,-. Hasilnya adalah Rp. 1.300.000,-.
Para ulama berpendapat bahwa nishab zakat investasi adalah jumlah penghasilan bersih selama setahun, meski pemasukan itu terjadi tiap waktu. Bila nilai total memasukan bersih setelah dikurangi dengan biaya operasional melebihi Rp. 1.300.000,-, wajib dikeluarkan zakatnya.
5. Waktu Membayarnya
Berdasarkan perbedaan penghitungan nishab oleh para ulama, maka waktu pembayarannnya pun dibedakan. Bila menganut pendapat pertama, maka zakatnya dikeluarkan saat menerima setoran. Dan bila menganut pendapat kedua, maka memayar zakatnya tiap satu tahun atau haul, yaitu hitungan tahun dalam sistem hijriyah.
6. Besarnya Yang Harus Dikeluarkan
Para ulama mengqiyaskan zakat investasi ini dengan zakat pertanian yaitu antara 5 % hingga 10 %.
7. Contoh-contoh
1. Pak Haji Qodir punya rumah kotrakan petak 8 pintu di daerah Ciganjur. Harga kontrakan tiap pintu adalah Rp. 150.000,-. Jadi setiap bulan beliau menerima total uang kontrakan sebesar 8 x Rp. 150.000 = Rp. 1.200.000,-.
Namun ini adalah pemasukan kotor. Sedangkan kehidupan Pak Haji Qodir ini semata-mata menggantungkan dari hasil kontrakan. Beliau punya tanggungan nafkah keluarga yang kebutuhan pokoknya rata-rata tiap bulan Rp. 1.000.000,-. Jadi yang tersisa dari pemasukan hanya Rp. 200.000,-. Bila dikumpulkan dalam setahun, maka akan didapat Rp. Rp. 2.400.000,- dari pemasukan bersihnya. Angka ini sudah melewati nishab zakat investasi yang besarnya Rp. 1.300.000,-. Karena itu zakat yang harus dikeluarkan adalah 5 % dari pemasukan bersih. Jadi besarnya zakat yang dikeluarkannya adalah dari setiap pemasukan bersih tiap bulan 5 % x Rp. 200.000 = Rp. 20.000,-. Angka ini tidak terasa memberatkan bagi seorang Haji Qodir yang bukan termasuk investor kaya.
2. PT. Alam Prima memiliki 1000 armada taxi. Uang setoran bersih tiap taxi setelah dipotong biaya perawatan dan lain-lain adalah Rp. 100.000,- perhari. Separo dari armadanya masih berstatus hutang kredit. Sehingga uang setoran untuk ke-500 armada itu digunakan untuk mencicil pembayaran.
Maka dalam sehari pemasukan bersihnya adalah Rp. 100.000.000,- dikurangi Rp. 50.000.000 = Rp. 50.000.000,-. Zakat yang harus dikeluarkan adalah 5 % x Rp. 50.000.000,- = Rp. 2.500.000,- perhari. Dalam setahun akan terkumpul dana zakat dari PT Alam Prima uang zakat sebesar 365 x Rp. 2.500.000,- = Rp. 912.500.000,-.
Jumlah yang lumayan besar ini tentu sangat berarti untuk mengentaskan kemiskinan umat Islam. Seandainya semua perusahaan taxi milik umat Islam menerapkan zakat dalam perusahaannya, banyak hal yang bisa dikerjakan.
On 18.30 by Anwar in zakat maal
1. ZAKAT FITRAH
a. Yang dizakati : Setiap kepala/muslim besar
kecil, pria wanita, tua muda.
b. Waktu membayar : Malam 1 Syawal. Atau 2-3 sebelumnya atau sejak
awal Ramadhan.
c. Besarnya Zakat : 1 sha' atau 2, 159 beras.
2. EMAS.dan PERAK
a. yang dizakati : Emas yang disimpan, bukan emas
yang dipakai (dikenakan)
b. Nishab : 85 g
emas atau 595 gram perak
c. Waktuy Membayar : 1 haul (setelah dimiliki selama 1
tahun.)
d. Besarnya zakat : 2,5 %
3. PERDAGANGAN
a. Yang dizakati : Aktiva lancar (Uang/ modal yang
berputar, bukan asset bangunan dan perabot).
b. Nishab :
seharga 85 g emas atau 595 g perak
c Waktunya membayar : 1 haul (setelah dimiliki selama 1
tahun) meskipun di tengahnya
pernah berkurang
d. Besarnya zakat : 2,5 %
4. TABUNGAN.
a. Yang dizakati : Semua bentuk tabungan baik tunai,
rekening, piutang, check, giro dll.
b. Nishab : seharga 85
gram emas, atau 595 gram perak.
c. Waktunya : 1 haul (setelah dimiliki
selama 1 tahun qomariyah), meski di tengahnya
pernah
berkurang
d. Besarnya zakat : 2,5 %
5. PERTANIAN
a. Yang dizakati : Hasil panen dikurang biaya perawatan
(pupuk, irigasi, pestisida dll)
b. Nishab : 5
washaq = 653 kg gabah = 520 kg beras.
c Waktunya : setiap panen
d. Besarnya zakat : 5 % jika irigasinya membayar, atau 10 % jika irigasinya
gratis.
6. INVESTASI
a. Yang dizakati : Hasil dari harta yang diinvestasikan.
Misalnya hasil sewa mobil,
kontrakan rumah, dll. Tidak termasuk modal investasi.
b. Nishab : Setara
dengan 5 wasaq = 653 kg gabah = 520 kg beras.
c. Waktunya : setiap memperoleh
pendapatan.
d. Besarnya zakat : 5 % dari hasil bersih atau 10 % dari hasil
kotor.
7. PERTAMBANGAN
a. Yang dizakati : Hasil tambang darat dan laut (emas, batu
bara, mutiara dll).
b. Nishab : -
c. Waktunya : saat mendapatkan
d. Besarnya zakat : 20 %
8. HADIAH
a. Yang dizakati : hadiah sayembara, kuis dsb.
b. Nishab : -
c. Waktunya : Saat mendapatkan
d. Besarnya zakat : 20 %
9. PROFESI
a. Yang dizakati : 1. Penghasilan kotor. (gaji, honor, komisi, THR, bonus dsb)
2. Penghasilan Bersih (penghasilan
kotor dikurang kebutuhan pokok)
b.Nishab : Penghasilan
satu tahun setara 5 wasaq beras (520 kg). Atau setara 85 g emas/tahun
c. Waktunya : Setiap mwendapat penghasilan.
d. Besarnya zakat : 2,5 %
On 08.29 by Anwar in zakat maal
A.
Kriteria
Tidak semua jenis harta
diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Berdasarkan nash-nash Al-Quran dan
Sunnah, para ulama telah menyusun kriteria jenis harta yang wajib dizakati.
Bila harta seseorang tidak memiliki kriteria yang telah ditetapkan, maka tidak
ada kewajiban zakat. Meski pun secara nominal lebih tinggi.
Namun yang menjadi ukuran apakah harta yang
dimiliki oleh seseorang itu wajib dikeluarkan zakat atau tidak, bukan
sekedar nilainya (nishab), tetapi masih ada sisi-sisi lainnya serta
kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Paling tidak ada 5 kriteria
utama yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu : 1. Harta itu dimiliki
secara sempurna (al-milkut-taam) Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki
secara sempurna adalah seseorang memiliki harta secara sepenuhnya dan dia mampu
untuk membelanjakannya atau memakainya, kapan pun dia mau melakukannya. Hal ini
berbeda dengan seorang yang memiliki harta dengan tidak secara sempurna. Yaitu
dimana seseorang secara status memang menjadi pemilik, namun dalam
kenyataannya, harta itu tidak sepenuhnya dikuasainya.
Ketidak-sempurnaan kepemilikan bisa juga berbentuk harta yang tidak dimiliki oleh orang tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh sekumpulan orang yang tidak bisa ditentukan jati dirinya satu per satu. Kepemilikan atas suatu harta secara kolektif tanpa diketahui secara pasti hak masing-masing, telah menggugurkan pengertian kepemilikan secara sempurna. Contoh-contoh lebih detail dari harta yang dimiliki secara tidak sempurna antara lain :
a. Uang yang dipinjam dan tidak jelas statusnya, akan kembali atau tidak.
Misalnya A memiliki uang bermilyar, tetapi uangnya dipinjam pihak lain (B). Namun ternyata B kemudian menghabiskan uang itu, tanpa pernah tahu apakah dia bisa membayarkannya suatu hari atau tidak. Secara hukum, uang yang dipinjam itu milik A, namun karena tidak jelas lagi apakah uangnya itu akan kembali atau tidak, maka kepemilikian uang itu oleh A disebut kepemilikan yang tidak sempurna. Maka dalam hal ini, A tidak diwajibkan membayar zakat atas uang yang tidak lagi dimilikinya secara sempurna itu.
b. Harta yang telah diwaqafkan untuk umat
Bentuk lain dari syarat yang pertama ini adalah bila ada harta yang tidak ada atau tidak jelas pemiliknya secara pasti, maka harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Misalnya harta yang telah diwaqafkan untuk umat Islam. Harta waqaf itu tidak dimiliki oleh perorangan, tetapi menjadi milik bersama umat Islam, maka tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari harta yang telah diwaqafkan.
Namun dalam masalah waqaf
ini, ada juga jenis waqaf yang lebih spesifik dan berbeda dengan yang biasa
kita kenal. Ada pihak tertentu yang mendapatkan harta waqaf yang bersifat
pribadi, dimana pihak pemberi waqaf memberikan harta kepada seseorang sebagai
harta waqaf yang dimiliki secara sempurna. Misalnya, seorang kaya mewaqafkan
rumah untuk seorang ustadz agar dijadikan tempat tinggal khusus untuk
ustadz itu saja. Maka status rumah itu bukan waqaf untuk umat, melainkan
waqaf untuk seseorang. Dalam hal ini, rumah itu dikatakan telah dimiliki
secara sempurna.
c. Harta untuk pihak tertentu secara massal
Demikian juga harta yang dikumpulkan untuk korban bencara alam, fakir miskin atau anak yatim. Harta seperti ini bukan lagi milik perorangan atau pihak tertentu, melainkan telah menjadi hak mereka secara umum. Harta yang seperti ini pun termasuk yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sebab dalam hal ini, belum ditetapkan jati diri tiap orang dan berapa nilai yang mereka miliki. Namun bila harta itu telah dibagikan per individu, dimana masing-masing orang telah menerima secara sepenuhnya harta untuk mereka, maka barulah harta itu dikatakan telah dimiliki secara sempurna.
d. Harta milik negara
Termasuk dalam kriteria ini adalah
harta yang dimiliki oleh negara. Harta itu berarti tidak dimiliki oleh
perorangan, melainkan menjadi harta bersama milik rakyat. Sehingga tidak ada
kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta milik negara. Dalam hal ini,
harta milik negara tidak bisa dikatakan milik orang per orang atau milik jati
diri tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh rakyat suatu
negara.
e. Harta pinjaman
Dan yang paling jelas dari semua hal di atas, harta pinjaman dari pihak lain termasuk dalam kriteria ini. Bila seseorang dipinjami harta oleh pihak lain, jelas sekali bahwa dia bukanlah pemilik harta pinjaman itu. Maka si peminjam sama sekali tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Sebab si peminjam bukanlah pemilik harta itu.
2. Harta itu tumbuh (an-nama')
Syarat kedua adalah bahwa harta itu adalah
harta yang tumbuh atau bisa ditumbuhkan, harta itu tidak mati atau tidak diam.
Dalam bahasa kita sekarang ini, harta itu dimiliki pokoknya namun bersama
dengan itu, harta itu bisa memberikan pemasukan atau keuntungan bagi
pemiliknya. Di antara contoh harta yang termasuk tumbuh adalah : Uang yang
diinvestasikan dalam sebuah perdagangan. Dimana perdagangan itu sendiri akan
memberikan keuntungan, sementara uang yang menjadi modalnya tetap utuh.
Harta berbentuk usaha pertanian, dimana
seiring dengan berjalannya waktu, para petani akan memanen hasil dari bibit
yang ditanamnya. Pertumbuhan ini akan melahirkan konsekuensi kewajiban zakat.
Sedangkan bila bibit tumbuhan itu tidak ditanam, maka tidak akan ada pertumbuhan,
maka tidak ada kewajiban zakat. Demikian juga dengan harta yang dimiliki oleh
seorang peternak, dimana awalnya dia hanya memiliki anak sapi, kemudian
dipelihara sedemikian rupa hingga anak sapi itu tumbuh menjadi sapi dewasa.
Anak kambing yang dipelahara kemudian tumbuh menjadi kambin dewasa, anak ayam
yang dipelihara kemudian tumbuh menjadi ayam dewasa. Disini jelas sekali ada
unsur pertumbuhan. Atau pertumbuhan itu bukan pada badannya, tapi pada
jumlahnya, dimana ternak-ternak itu melahirkan anak sehingga semakin hari
jumlahnya tumbuh menjadi semakin banyak. Semua fenomena pertumbuhan inilah yang
mewajibkan zakat.
Bahkan para ulama mengatakan bahwa uang tunai itu dianggap sebagai harta yang tumbuh. Meskipun pemiliknya mendiamkannya saja atau menyimpannya di dalam lemari. Sebab uang tunai itu sudah berbentuk harta yang siap langsung diinvestasikan dan diputar sebagai modal, kapan saja dan dimana saja. Berbeda dengan harta dalam bentuk tanah atau rumah yang bukan dana segar. Benda-benda itu tidak bisa secara langsung dianggap tumbuh, kecuali bila disewakan. Karena itulah para ulama mewajibkan zakat atas uang tunai, meski disimpan oleh pemiliknya. Sedangkan rumah atau tanah kosong yang dimiliki namun tidak memberikan pemasukan apapun kepada pemiliknya, tidaklah diwajibkan zakat.
3. Harta itu memenuhi jumlah standar minimal (nisab)
Bila suatu harta belum memenuhi jumlah tertentu, maka belum ada kewajiban zakat atas harta itu. Namun sebaliknya, bila jumlahnya telah sampai pada batas tertentu atau lebih, barulah ada kewajiban zakat atasnya. Jumlah tertentu ini kemudian disebut dengan istilah nisab. Namun nisab masing-masing jenis harta sudah ditentukan langsung oleh Rasulullah SAW. Dan kalau dikomparasikan antara nisab jenis harta tertentu dengan nisab lainnya dari nilai nominalnya, maka sudah pasti tidak sama. Misalnya, nishab zakat emas adalah 85 gram. Sedangkan nisab zakat beras adalah 520 kg. Bila dinilai secara nominal, harga 85 gram emas itu berbeda dengan harga 520 kg beras. Kita tidak bilang bahwa ketentuan nisab ini tidak adil. Sebab yang menentukannya Rasulullah SAW sendiri. Dan kita perlu sadari, bahwa jenis harta itu memang berbeda-beda, maka wajar pula bila nilai nominal nisabnya pun berbeda pula.
4. Harta itu telah dimiliki untuk jangka waktu tertentu (haul)
Para ulama telah menetapkan bahwa bila seseorang memiliki
harta dalam waktu singkat, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang
kaya. Sehingga ditetapkan harus ada masa kepemilikan minimal atas sejumlah
harta, agar pemiliknya dikatakan sebagai orang yang wajib membayar zakat.
Yang penting untuk
diketahui, bahwa batas kepemilikan ini dihitung berdasarkan lama satu tahun
hijriyah. Bukan dengan hitungan tahun masehi. Dan sebagaimana diketahui, bahwa
jumlah hari dalam setahun dalam kalender hijriyah lebih sedikit dibandingkan
kalender masehi. Bila seseorang pada tanggal 15 Rajab 1425 H mulai memiliki
harta yang memenuhi syarat wajib zakat, maka setahun kemudian pada tanggal 15
rajab 1426 H dia wajib mengeluarkan zakat atas harta itu.
5. Harta itu telah melebihi kebutuhan dasar
Sebagian ulama menambahkan syarat lainnya, yaitu bahwa sebuah harta baru diwajibkan untuk dizakatkan, manakala pemiliknya telah terpenuhi hajat dasarnya atas harta itu. Sebagaimana ditetapkan oleh mazhab Al-Hanafiyah dalam kebanyakan kitab mereka. Sebab bila seseorang yang punya harta banyak, namun dia juga punya hajat dasar atau tanggungan yang lebih banyak lagi, maka pada hakikatnya dia justru orang yang kekurangan.
Yang dimaksud dengan kebutuhan atau hajat
dasar tentu saja relatif, namun bukan berarti setiap orang berhakmenentukan
sendiri apa kebutuhannya. Lagi pula, bukan berarti setiap yang diinginkan atau
menjadi selera seseorang, bisa dimasukkan ke dalam kategori kebutuhan pokok.
Tidak demikian pengertiannya. Tentu bukan perbuatan yang benar bila seorang
yang terbiasa hidup enak di kawasan elit, makan enak di restoran mahal bisa
saja dianggap sebagai hajat dasar. Kemana-mana naik pesawat kelas utama buat
sebagian kalangan memang bisa dianggap hajat pokok, atau punya mobil mewah,
pembantu 12 orang, satpam rumah 12 orang, bisa saja diakui sebagai hajat pokok.
Namun tentu saja bukan itu yang dimaksud dengan kriteria ini. Yang dimaksud
adalah kebutuhan yang memang benar-benar mendasar buat seorang manusia untuk
bisa menyambung hidupnya. Misalnya, kebutuhan untuk makan dan mengisi perutnya,
kebutuhan untuk bisa tertutup auratnya dengan sehelai pakaian, kebutuhan untuk
bisa berlindung di bawah sebuah atap rumah, meskipun seadanya atau mengontrak
murah. Sekedar dirinya bisa terlindungi dari terik matahari, curah hujan atau
tusukan dingin angin musim dingin.
6. Pemiliknya bukan orang yang selamat dari hutang
Sebagian
ulama menambahkan syarat terakhir, yaitu bila seseorang memiliki harta
yang memenuhi kriteria di atas, namun dirinya sendiri punya hutang kepada pihak
lain, maka dia tidak lagi punya kewajiban membayar zakat.
yang dimaksud dengan hutang disini bukan sembarang hutang. Maksudnya adalah hutang yang besar dimana bila hartanya itu dikurangi dengan nilai kewajiban yang harus dibayarkan, maka hutang itu membuat harta yang dimilikinya tidak lagi memenuhi nisab zakatnya. Dalam keadaan demikan, maka gugurlah kewajiban zakat baginya. Sebab pada hakikatnya orang itu sebenarnya tidak punya harta yang memenuhi nisab zakat. Sehingga bagaimana mungkin dia diwajibkan untuk membayar zakat?. Sedangkan hartanya yang banyak itu, seolah-olah harta pinjaman, bukan miliknya yang hakiki.
On 08.01 by Anwar in zakat fitrah, zakat maal
Secara
bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah.
(lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih
sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab. Sedangkan secara syara`,
zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah
wajibkan unutk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima
zakat). Lihat Fiqhuz Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman
38.
Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna
zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat
itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah. (lihat
kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad Abdul Baqi). Sedangkan
Imam An-Nawawi pengarang kitab Al-Hawi mengatakan bahwa istilah zakat adalah
istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam
datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili
sebelumnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan
bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu
merupakan `urf dari syariat Islam.
A.
Perbedaan Antara Zakat, Infaq dan Shadaqah
Kata
shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai`in bisyai`i, atau menetapkan /
menerapkan sesuatu pada sesuatu. Dan juga berasal dari makna membenarkan
sesuatu. Meski lafaznya berbeda, namun dari segi makna syar`i hampir-hampir
tidak ada perbedaan makna shadaqah dengan zakat. Bahkan Al-quran sering
menggunakan kata shadaqah dalam pengertian zakat.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka.
Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.? (QS. At-Taubah :103).
Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang zakat;
jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika
mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi
marah. (QS.At-Taubah : 58).
Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).
Rasulullah SAW dalam hadits pun sering menyebut shadaqah dengan
makna zakat. Misalnya hadits berikut : Harta yang kurang dari lima wasaq
tidak ada kewajiban untuk membayar shadaqah (zakat). (HR. Bukhari Muslim). Begitu juga dalam hadits yang
menceritakan mengiriman Muaz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW memberi
perintah,"beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan
shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka".
Sehingga Al-Mawardi mengatakan bahwa shadaqah itu adalah zakat dan
zakat itu adalah shadaqah. Namanya berbeda tapi maknanya satu. (lihat Al-ahkam
As-Sulthaniyah bab 11). Bahkan orang yang menjadi Amil zakat itu sering disebut
dengan Mushaddiq, karena dia bertugas mengumpulkan shadaqah (zakat) dan
membagi-bagikannya.
Kata shadaqah disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 12 kali yang
kesemuanya turun di masa Madinah. Hal yang membedakan makna shadaqah dengan
zakat hanyalah masalah `urf, atau kebiasaan yang berkembang di tengah
masyarakat. Sebenarnya ini adalah semcam penyimpangan makna. Dan jadilah pada
hari ini kita menyebut kata shadaqah untuk yang bersifat shadaqah sunnah /
tathawwu`. Sedangkan kata zakat untuk yang bersifat wajib. Padahal ketika
Al-Quran turun, kedua kata itu bermakna sama. Hal yang sama juga terjadi pada
kata infaq yang juga sering disebutkan dalam Al-Quran, dimana secara kata infaq
ini bermakna lebih luas lagi. Karena termasuk di dalamnya adalah memberi nafkah
kepada istri, anak yatim atau bentuk-bentuk pemberian yang lain. Dan secara
`urf, infaq pun sering dikonotasikan dengan sumbangan sunnah.
B.
Kewajiban Untuk Mengeluarkan Zakat
Ada dua kemungkian orang tidak mengeluarkan zakat. Kemungkinan
pertama, adalah orang yang enggan bayar zakat, namun tidak sampai mengingkari
adanya kewajiban zakat dalam syariat Islam. Kemungkinan yang kedua, sudah lebih
parah, yaitu mengingkari eksistensi adanya syariat zakat dalam hukum Islam.
Maka sanksi bagi kasus kedua adalah lepasnya status keislaman dan halal
darahnya. Awal para shahabat pun memandang bahwa kaum yang tidak mau bayar
zakat sepeninggal Rasulullah SAW itu tidak perlu dibunuh atau tidak perlu
diperangi. Namun Abu Bakar melihat kasus itu lebih dalam dan menemukan bahwa
pangkal persoalannya bukan semata-mata curang atau menghindar, melainkan sudah
sampai kepada level pengingkaran adanya syariat zakat itu sendiri. Hal itu
dijelaskan di dalam hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra bahwa ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu
Bakar menjadi khalifah, sebagian orang orang arab menjadi kafir. Umar
bertanya,”Mengapa Anda memerangi mereka ? Padahal Rasulullah SAW telah
bersabda,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan
La Ilaaha Illallah, yang telah mengucapkannya maka terlindung dariku harta dan
jiwanya dan hisabnya kepada Allah SWT ?”. Abu Bakar menjawab,”Demi Allah, aku
pasti memerangi mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat
adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor
kambing muda yang dahulu pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW,
pastilah aku perangi”. Umar berkata,”Demi Allah, hal ini tidak lain karena Allah
SWT telah melapangkan dada Abu Bakar dan baru aku tahu bahwa hal itu adalah
benar”. (HR. Bukhari Muslim
Abu daud Tirmizi Nasai Ahmad)
Setelah mengetahui duduk persoalannya, barulah para shahabat
lainnya menyadari perbedaan mendasar dua kasus itu. Maka berangkatlah pasukan
yang memerangi pada ‘jahid’ zakat. Tindakan Abu Bakar itu bisa dikatakan
menjadi kesepakatan para shahabat di kala itu.
Search
Translate
Tentang TAMZIS Baitulmaal
VIDEO KITA
Popular Posts
-
Semarang Rabu, 6 januari 2016. Bertempat di gedung BMT Walisongo Semarang, FBM Korwil jawa Tengah mengadakan Raker untuk masa bakti...
Hubungi Kami
Categories
Diberdayakan oleh Blogger.