TAMZIS BAITUL MAAL

"Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong" (al Qur'an Surat AnNahl ; ayat 23)

19 Januari 2015

On 23.59 by Anwar in
Gambar  Tungku Enerji Hemat Tamaddun (JIMAT) Generasi I
Diduga oleh banyak fihak, terutama para pemrotes pemanasan global, bahwa penggunaan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga telah ikut andil dalam menciptakan pemanasan global. Secara sekilas, nampaknya hal itu logis. kalau setiap rumah tangga pengguna kayu bakar menghabiskan 5 kg per hari, maka sekitar 24,5 juta pengguna kayu bakar di Indonesia akan menghabiskan 5 X 24,5 juta = 122.500.000 kg/hari. Dengan asumsi itu ,maka melalu lembaga resmi semacam Bank Dunia mengampanyekan perlunya bahan bakar alternatif, melalui penggunaan tungku.Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan serta sustu yayasan,  target yang akan dicapai yaitu 10 juta tungku sudah tersebar sampai tahun 2020.
     Paragraf tersebut di atas  menunjukkan, bahwa masalah 'tungku' menjadi topik hangat di negeri ini. Tema tungku menjadi menarik karena diduga kuat bahwa rakyat kecil pengguna kayu bakar adalah biangnya pemanasan global.  Walaupun belum ada penelitan yang pasti, berapa konsumsi kayu bakar rumah tangga Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya terhadap pemanasan global. Bukankah pengaruh langsung telah dilakukan oleh knalpot-knalpot kendaraan bermotor? Mengapa warga miskin  di pedesaan itu yang sering dituduh sebagai penyumbang pemanasan global? Maka dibuatkan skenario, bagaimana dana hibah dari Bank Dunia bisa cair, dengan berbagai program pelatihan, pengadaan tungku, distribusi, serta berbagai agenda kampanye.
     Lepas dari proyek Bank Dunia, sebenarnya, konversi dari minyak tanah ke gas LPG telah membuat rakyat kecil semakin terjepit. Mungkin Pemerintah bisa berdalih, bahwa LGP kemasan 3 kg sudah diberi subsidi oleh negara. Pertanyaannya, benarkah subsidi itu dinikmati oleh rakyat kecil? Bukankah tidak sedikit kalangan yang punya juga ikut membeli tabung 3 kg?
Ditambah lagi, seringkali harga LPG, baik kemasan besar maupun kecil, sering mengalami kenaikkan harga tanpa kendali. bagi rakyat kecil kenaikkan 1000 rupiah saja berpengaruh. Di samping itu, harga beli eceran gas LPG juga lebih tinggi daripada minyak tanah. Minimal untuk bisa membeli LPG 3 kg harus punya duit 17.000, tapi waktu minyak tanah masih ada, rakyat bisa membeli minyak tanah cukup 1 liter, yang harganya tidak sampai  Rp 10.000. artinya, LPG lebih membutuhkan likuiditas daripada minyak tanah. Jadi, selain masalah teknis (seringnya tidak tersedia), penggunaan LPG menghadapi masalah  ekonomis (harga sering berubah), dan  masalah likuiditas.
Sebaliknya, dengan tungku yang sederhana, maka beberapa persoalan energi yang dihadapi rakyat kecil bisa diatasi.
Persoalan rakyat dalam hal kebutuhan energi bukan hanya masalah uang, namun ada beberapa masalah lain yang perlu diperhitungkan.
Pertama masalah ketersediaan sumber energi. Semestinya semangat demokratisasi, keterbukaan, kemandirian, desentralisasi turut mewarnai masalah energi bagi rakyat,. namun, dengan alasan uyntuk kepentingan umum, beberapa sumber kekayaan alam hanya dikuasai oleh negara, misalnya minyak dan gas bumi. Dengan kekuasaan oleh BUMN, maka sebenarnya hak rakyat untuk mengelola langsung sumber daya alam telah tereduksi. Sebagaimana zaman penjajahan dahulu, penanaman pohon jati hanya boleh dilakukan oleh Pemerintah, yang nota bene saat itu adalah Pemerintah Belanda. Maka jika sekarang sumber enerji untuk memasak saja hanya 'dikuasai' oleh 1 BUMN, sebenarnya hal demikian kurang sesuai dengan semangat demokrasi. Sebagai contoh penggunaan LPG, hanya akan membuat ketergantungan rakyat kepada negara, karena rakyat tidak mampu memproduksi lpg sendiri.
Kedua masalah likwiditas.
Energi yang bisa mensejahterakan rakyat adalah yang butuh likwiditas rendah. Di samping itu rakyat butuh bahan bakar yang mudah tersedia. Konsep bahan bakar yang dikuasai BUMN tertentu menimbulkan keribetan bagi rakyat. Lebih-lebih bagi yang tinggal jauh di pelosok, maka bahan bakar dari BUMN sering tidak tersedia. Akibatnya, rakyat memanfaatkan biomass, misalnya kayu, ranting, aranf, namun tidak disertai dengan ketersediaan tungku yang hemat enerji. Maka terjadilah pemborosan akibat kurang tepatnya kebijakan.
     Persoalan enerji bagi rakyat tidak hanya persoalan teknis penyediaan barang, namun bagaimana sumber enerji atau bahan bakar itu mudah didapat dan hanya membutuhkan likwiditas yang kecil (terjangkau) oleh kocek wong cilik. Maka lebih penting memilih sumber-sumber lokal yang ada, misalnya limbah kayu, arang, serbuk gergaji, sekam sebagai bahan bakar daripada penyediaan LPG yang hanya bisa disediakan oleh 1 BUMN saja.

Mudah dikelola.
Kompor gas dan LPG adalah contoh teknologi yang tidak mudah dikelola oleh sebagian besar rakyat. Untuk memiliki kompor gas yang baik, rakyat harus mengeluarkan sejumlah dana yang relatif besar (sekitar Rp200.000), sedangkan tabung kosong perlu dibeli dengan harga sekitar 75.000 (ukuran 3 kg). Kalau kompor gas rusak, beberapa onderdil perlu dibeli, tidak bisa diganti sendiri.
     Sedangkan tungku hemat enerji, relatif mudah dirawat. Harga belinya juga relatif murah, antara Rp 20.000 sampai Rp 100.000,-.

Mudah diciptakan
Hampir pasti, industri kompor gas hanya dimiliki oleh mereka yang berkocek tebal, home industri kompor gas hampir tidak ada. sedangkan tungku, rekatif banyak yang bisa membuat. maka dari sisi distribusi usaha, tungku lebih bisa membantu perekonomian rakyat.

 Kesimpulannya, tungku hemat enerji lebih bisa membantu ekonomi rakyat, dari pada kompor gas LPG. Maka usaha penciptaan tungku yang tepat, sesuai kondisi ekonomi, budaya dan ramah lingkungan perlu diihtiari secara serius. Wallohu a'lam.