30 November 2012
On 02.42 by Tamaddun in pemberdayaan
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lembaga pendidikan formal sekarang telah bergeser dari non profit ataupun not for profit menjadi lembaga untuk meraup keuntungan. Berbagai cara dilakukan oleh penyelenggara pendidikan sehingga mereka bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari berbagai fihak. Baik dari negara (yang berupa dana BOS), maupun lewat wali murid melalui berbagai pungutan.
Berbagai modus mereka lakukan sehingga seolah-olah bukan merupakan pungli atau korupsi. Misalnya, pengadaan buku ringkasan materi pelajaran. Walaupun sudah ada buku paket dari negara, tetap saja siswa diwajibkan membeli buku ringkasan materi pelajaran. Bekerjasama dengan penerbit tertentu maka setiap laku sekian eksemplar, mereka akan mendapatkan bonus dari penerbit. Pihak pengelola sekolah juga selalu memungut uang registrasi alias daftar ulang saat penerimaan siswa baru dan saat kenaikan kelas yang besarnya tidak rasional.. Terhadap siswa yang lulus juga dilakukan pungutan dengan alasan untuk kenang-kenangan sekolah. Bagi yang tidak membayar uang kenang-kenangan maka ijazahnya akan ditahan oleh pihak sekolah. Cara yang terakhir ini persis gaya debt kolektor seorang rentenir.
Inti dari semua itu adalah komersialisasi pendidikan. Sekolah tidak lagi merupakan lembaga tempat menemukan kebenaran dan kebaikan, namun sekolah adalah tempat jual beli pengetahuan. Ironisnya lagi, pengetahuan yang diberikan sering bersifat fiktif, karena saat ujian para siswa malah diajari nyontek oleh gurunya demi mencapai kelulusan UNAS 100%. Sempurnalah sudah pengajaran kemunafikan anak bangsa lewat pendidikan formal yang sering melakukan tipu daya dan berorientasi komersial alias money oriented
Bagaimana dengan kualitas kelulusannya? Saya kira Anda sudah bisa menebak. Sebagian besar kelulusan hanya bersifat formal, yang penting dapat ijazah. Kita bisa menyaksikan bagaimana para lulusan SMP dan SMA berarak-arakan naik sepeda motor, keliling kota menghambat lalu lintas, dengan baju, wajah dan kepalanya disemprot memakai cat pilok. Kita juga sering mendengar bagaimana pelajar tingkat SMP, SMA berpacaran sampai hamil. Bahkan, sering terjadi pelajar tawuran hingga menimbulkan korban nyawa.
Terlalu mahal biaya pendidikan kalau hanya menciptakan kelulusan yang bejad moralnya serta tumpul otaknya.
Maka sudah waktunya kita menciptakan pendidikan yang berbasis moral, dengan orientasi utama menciptakan generasi yang memihak kebenaran, mengutamakan kebaikkan, kejujuran, kemandirian, kesopanan, keyakinan agama yang kuat, dan memiliki sejumlah kecerdasan emosional, spiritual, serta intelektual yang memadai. Pendidikan berbasis karakter seperti itu bisa dimulai dengan membangun karakter pada gurunya lebih dahulu. Kita bisa belajar pada pondok pesantren yang telah maju dan terbukti bisa menciptakan kelulusan yang berkualitas seperti PP Gontor Ponorogo, PP Tebuireng Jombang atau yang lainnya.
Tanpa harus kehilangan essensi pendidikan, maka bisa diciptakan sekolah yang lebih efisien, serta lebih cepat menciptakan kelulusan yang mandiri. Sebagai contoh sederhana, misalnya cara belajar yang menjemukan di dalam kelas bisa dirubah dengan belajar di luar kelas, misalnya di sawah di hutan, di lapangan, di pegunungan dan lain-lain. Dengan belajar di luar kelas, di samping mengurangi kejenuhan, juga menghemat biaya pengadaan lokal kelas. Jumlah siswa setiap kelas juga bisa dibuat lebih efektif dengan perbandingan 1 guru mengajar 20 siswa. Demikian juga lamanya pendidikan tidak harus mengikuti sistem yang klasik SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Mealui penanaman karakter sejak dini, maka kedewasaan dan rasa tanggung jawab pada anak didik bisa lebih cepat tumbuh, sehingga lamanya sekolah bisa dipersingkat misalnya SD 4 tahun, SMP 2 tahun dan SMA 2 tahun. Jika anak mulai seklah SD umur 7 tahun, maka mereka akan lulus pendidikan dasar dan menengah pada usia 15 tahun. Maka, usia 16 tahun mereka sudah mulai bekerja, dan pada usia 18 tahun secara ekonomi tidak tergantung kepada orang tua.
KURIKULUM SEKOLAH ALTERNATIF
Kurikulum sekolah bisa dibuat berdasarkan sejarah/pengalaman orang-orang yang telah sukses dalam hidupnya. Bagaimana Soekarno , Moh. Hatta, Moh. Roem, Moh. Natsir, dan sejumlah tokoh lainnya bisa sukses pada zamannya? Salah satunya yaitu disiplin, semangat patriotisme kebangsaan, serta sejak kecil sudah dididik untuk mandiri dan bertanggung jawab. Basis pendidikan sekolah perlu didasarkan pada agama, serta ideologi cinta tanah air. sejak dini setiap siswa diajari praktik pelaksanaan agama, misalnya melaksanakan sifat jujur, disiplin, semangat, bersungguh-sungguh, pantang menyerah, suka berbagi, memberi solusi, kreatif, bangga dengan karya sendiri, dan sebagainya.
Setelah landasan karakter ditanamkan, baru diajarkan ilmu-ilmu alat yang merupakan pendukung pelaksanaan karakter. Matematika, bahasa, teknologi, pengetahuan sosial, geografi merupakan beberapa ilmu yang sifatnya pendudkung. Sehingga siswa faham bahwa penguasaan bahasa, matematika, teknologi bukan untuk menyombongkan diri, bukan alat untuk korupsi, bukan modal untuk ngapusi, namun itu semua mnerupakan bekal untuk menegakkan moral, etika, kemajuan bersama, serta alat utama unbtuk menegakkan bangsa , demi kemajuan tanah air Indonesia.
Sistem penilaian /standar kelulusan siswa bukan hanya angka-angka ilmu-ilmu rasional yang tinggi, namun praktik moral, etika, sopan-santun, sejauh mana hal itu dilakukan. Penilaian tidak hanya lewat ujian semesteran, namun setiap hari guru mengawasi, sehingga setiap bulan bisa dibuat lapotran perkembangan karakter siswa.
Ukuran keberhasilan tidak cukup dilihat dengan ujian nasional saja, namun setelah siswa lulus dua tiga tahun kedepan, apa yang mereka lakukan? Apakah mereka menjadi insan penegak moral, pembela tanah air, penyumbang solusi bagi ummat, atau mereka menjadi koruptor?
Semoga bangsa ini segera menemukan jati diri kemanusiaannya, sehingga tidak jatuh ke dalam jurang kemunafikan, materialisme. Amin.
Berbagai modus mereka lakukan sehingga seolah-olah bukan merupakan pungli atau korupsi. Misalnya, pengadaan buku ringkasan materi pelajaran. Walaupun sudah ada buku paket dari negara, tetap saja siswa diwajibkan membeli buku ringkasan materi pelajaran. Bekerjasama dengan penerbit tertentu maka setiap laku sekian eksemplar, mereka akan mendapatkan bonus dari penerbit. Pihak pengelola sekolah juga selalu memungut uang registrasi alias daftar ulang saat penerimaan siswa baru dan saat kenaikan kelas yang besarnya tidak rasional.. Terhadap siswa yang lulus juga dilakukan pungutan dengan alasan untuk kenang-kenangan sekolah. Bagi yang tidak membayar uang kenang-kenangan maka ijazahnya akan ditahan oleh pihak sekolah. Cara yang terakhir ini persis gaya debt kolektor seorang rentenir.
Inti dari semua itu adalah komersialisasi pendidikan. Sekolah tidak lagi merupakan lembaga tempat menemukan kebenaran dan kebaikan, namun sekolah adalah tempat jual beli pengetahuan. Ironisnya lagi, pengetahuan yang diberikan sering bersifat fiktif, karena saat ujian para siswa malah diajari nyontek oleh gurunya demi mencapai kelulusan UNAS 100%. Sempurnalah sudah pengajaran kemunafikan anak bangsa lewat pendidikan formal yang sering melakukan tipu daya dan berorientasi komersial alias money oriented
Bagaimana dengan kualitas kelulusannya? Saya kira Anda sudah bisa menebak. Sebagian besar kelulusan hanya bersifat formal, yang penting dapat ijazah. Kita bisa menyaksikan bagaimana para lulusan SMP dan SMA berarak-arakan naik sepeda motor, keliling kota menghambat lalu lintas, dengan baju, wajah dan kepalanya disemprot memakai cat pilok. Kita juga sering mendengar bagaimana pelajar tingkat SMP, SMA berpacaran sampai hamil. Bahkan, sering terjadi pelajar tawuran hingga menimbulkan korban nyawa.
Terlalu mahal biaya pendidikan kalau hanya menciptakan kelulusan yang bejad moralnya serta tumpul otaknya.
Maka sudah waktunya kita menciptakan pendidikan yang berbasis moral, dengan orientasi utama menciptakan generasi yang memihak kebenaran, mengutamakan kebaikkan, kejujuran, kemandirian, kesopanan, keyakinan agama yang kuat, dan memiliki sejumlah kecerdasan emosional, spiritual, serta intelektual yang memadai. Pendidikan berbasis karakter seperti itu bisa dimulai dengan membangun karakter pada gurunya lebih dahulu. Kita bisa belajar pada pondok pesantren yang telah maju dan terbukti bisa menciptakan kelulusan yang berkualitas seperti PP Gontor Ponorogo, PP Tebuireng Jombang atau yang lainnya.
Tanpa harus kehilangan essensi pendidikan, maka bisa diciptakan sekolah yang lebih efisien, serta lebih cepat menciptakan kelulusan yang mandiri. Sebagai contoh sederhana, misalnya cara belajar yang menjemukan di dalam kelas bisa dirubah dengan belajar di luar kelas, misalnya di sawah di hutan, di lapangan, di pegunungan dan lain-lain. Dengan belajar di luar kelas, di samping mengurangi kejenuhan, juga menghemat biaya pengadaan lokal kelas. Jumlah siswa setiap kelas juga bisa dibuat lebih efektif dengan perbandingan 1 guru mengajar 20 siswa. Demikian juga lamanya pendidikan tidak harus mengikuti sistem yang klasik SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Mealui penanaman karakter sejak dini, maka kedewasaan dan rasa tanggung jawab pada anak didik bisa lebih cepat tumbuh, sehingga lamanya sekolah bisa dipersingkat misalnya SD 4 tahun, SMP 2 tahun dan SMA 2 tahun. Jika anak mulai seklah SD umur 7 tahun, maka mereka akan lulus pendidikan dasar dan menengah pada usia 15 tahun. Maka, usia 16 tahun mereka sudah mulai bekerja, dan pada usia 18 tahun secara ekonomi tidak tergantung kepada orang tua.
KURIKULUM SEKOLAH ALTERNATIF
Kurikulum sekolah bisa dibuat berdasarkan sejarah/pengalaman orang-orang yang telah sukses dalam hidupnya. Bagaimana Soekarno , Moh. Hatta, Moh. Roem, Moh. Natsir, dan sejumlah tokoh lainnya bisa sukses pada zamannya? Salah satunya yaitu disiplin, semangat patriotisme kebangsaan, serta sejak kecil sudah dididik untuk mandiri dan bertanggung jawab. Basis pendidikan sekolah perlu didasarkan pada agama, serta ideologi cinta tanah air. sejak dini setiap siswa diajari praktik pelaksanaan agama, misalnya melaksanakan sifat jujur, disiplin, semangat, bersungguh-sungguh, pantang menyerah, suka berbagi, memberi solusi, kreatif, bangga dengan karya sendiri, dan sebagainya.
Setelah landasan karakter ditanamkan, baru diajarkan ilmu-ilmu alat yang merupakan pendukung pelaksanaan karakter. Matematika, bahasa, teknologi, pengetahuan sosial, geografi merupakan beberapa ilmu yang sifatnya pendudkung. Sehingga siswa faham bahwa penguasaan bahasa, matematika, teknologi bukan untuk menyombongkan diri, bukan alat untuk korupsi, bukan modal untuk ngapusi, namun itu semua mnerupakan bekal untuk menegakkan moral, etika, kemajuan bersama, serta alat utama unbtuk menegakkan bangsa , demi kemajuan tanah air Indonesia.
Sistem penilaian /standar kelulusan siswa bukan hanya angka-angka ilmu-ilmu rasional yang tinggi, namun praktik moral, etika, sopan-santun, sejauh mana hal itu dilakukan. Penilaian tidak hanya lewat ujian semesteran, namun setiap hari guru mengawasi, sehingga setiap bulan bisa dibuat lapotran perkembangan karakter siswa.
Ukuran keberhasilan tidak cukup dilihat dengan ujian nasional saja, namun setelah siswa lulus dua tiga tahun kedepan, apa yang mereka lakukan? Apakah mereka menjadi insan penegak moral, pembela tanah air, penyumbang solusi bagi ummat, atau mereka menjadi koruptor?
Semoga bangsa ini segera menemukan jati diri kemanusiaannya, sehingga tidak jatuh ke dalam jurang kemunafikan, materialisme. Amin.
Search
Translate
Tentang TAMZIS Baitulmaal
VIDEO KITA
Popular Posts
-
Semarang Rabu, 6 januari 2016. Bertempat di gedung BMT Walisongo Semarang, FBM Korwil jawa Tengah mengadakan Raker untuk masa bakti...
Hubungi Kami
Categories
Diberdayakan oleh Blogger.